![]() |
Bukan... ini bukan aku. Gigiku nggak seputih itu kok.. SOURCE |
Jadi ini bukan postingan curcol semata ya. Ini adalah sudut padang dan pemikiranku tentang bagaimana hubungan mertua dan menantu. Mertua perempuan dan menantu perempuan, khususnya. Bisa aja salah dan nggak sesuai untuk banyak orang. Tapi ini kesimpulan yang aku dapati di dunia nyata, sebagai seorang menantu, dan melihat kehidupan antara menantu dengan mertua yang ada sekitarku (mulai dari saudara, teman, bahkan tetangga).
Sampai sini mungkin kalian berpikir, weesss... agak-agak sensitif ini topiknya.
Kayaknya... Tapi sensitif itu nggak sih ini bahasannya? Sesensitif apa? Mungkin iya, sangat sensitif! Karena hubungan antara mertua dan menantu, khususnya mertua perempuan dengan menantu perempuan sarat akan konflik. Belum lagi hubungan mertua dengan menantu ini sudah membudaya, entah bagaimana telah terlabel dengan sendirinya. Label yang paling getol adalah label negatif pastinya.
Kalau hubungan keduanya buruk, masyarakat sekitar makin anget-angetin. Bela sana bela sini. Nyudutin sana nyudutin sini. Ngomporin sana ngomporin sini. Kalau hubungannya baik, bakalan dianggap akting dan disumpahi boroknya bakalan kelihatan. Dianggap nggak mungkin dan sedang menutup-nutupi keadaan.
Lah piye???
Akur itu bukan bahagia tanpa cela. Bukan berati tertawa terus tanpa menangis sedikit, tanpa kesal beberapa kali, atau tanpa tersakiti sesekali. Hellloooo, kita manusia yang tengah berhadapan dengan manusia lain. Justru dipertanyakan jika hubungan antar manusia terlihat happily ever after. Apa iya? Manusia yang punya seribu kekhilafan bertemu dengan manusia lain yang memiliki kekhilafan juga. Don't be naif.
Maunya kita. Harapanya kita. Semuanya berjalan baik. Semuanya harus berjalan seperti yang kita mau, kita harapkan. Maunya kita kan? Tapi apa itu yang terbaik? Apa seperti itu hidup? Hanya indahnya aja. Nggak bok.
Banyak orang yang ketika hubungannya dengan mertua memburuk, mengatakan kalau dulu mertuanya tidak begitu. Kalau dulu sebelum menikah dia sangat akrab dengan mertuanya. Dan begitu juga sebaliknya. Mertua yang mengeluhkan sikap menantu yang berubah setelah menikah dengan anaknya.
Kalau ditanya siapa yang mau akrab bagaikan sahabat dengan mertua? Pasti semua mau. Pasti semua memiliki niat begitu. Pasti. Aku yakin. Tapi, ketika niat dan keinginan itu berubah, tentu ada penyebabnya. Stop nyalahin orang lain. Stop membenarkan perilaku sendiri. Stop berbicara tentang ego.
Sadar nggak, kalau ternyata ekspektasi kitalah yang berlebih. Hayalan kita ketinggiian. Kita terjebak pada drama kehidupan yang diciptakan lingkungan dan tontonan kita, kalau mau disayang mertua harus pandai ambil hatinya. Nggak gitu sis. Bukan pandai ambil hatinya dengan kepalsuan.
Belajar masak untuk dinilai calon mertua.
Nyuci piring dirumah pacar biar dilihat ibunya.
Muji-muji ibunya biar akrab.
Ngasih hadiah biar diterima kehadiran kita oleh keluarga pacar.
Aku bukan ngajarin jadi begajulan ya, bukan berarti kalau diundang makan kerumah pacar oleh orang tuanya udah biar aja situ piring berantakan. Ya nggak. Tapi niatnya lho. Kalau mau bersikap baik. Cukup bersikap sebagai manusia yang baik aja. Bukan bersikap sebagai calon istri yang baik, calon mantu yang baik. Itu sifatnya sementara, kalau udah nggak jadi calon lagi. Melayang deh tuh kata baik. Ya nggak gitu kan?
Aku nggak bisa menjelaskan ini dengan sudut pandang seorang mertua ya. Tapi mungkin aku akan memposisikan sebagai seorang ibu yang memiliki anak laki-laki dan mau cerita dikit tentang pengalaman aku ketika tidak sengaja mendengar curhatan dua orang ibu ditempat umum.
Jadi saat itu didekatku ada dua orang ibu-ibu paruh baya yang awalnya mereka ngobrolin anak masing-masing, lalu nyerempet ke masalah pasangan anak masing-masing.
Dari ceritanya aku nyimpulin yang satu anaknya udah nikah. Yang satu akan menikah. Dan dari cerita keduanya juga tertangkap kalau mereka sehari-harinya memiliki hubungan yang baik dengan menantu dan calon menantunya. Bahkan sepertinya akrab. Karena ada kalimat yang mengarah kalau mereka sering berpergian dan menjalin komunikasi yang intens dengan menantu dan calon menantunya. Di bagian ini aku agak serem. Kenapa? Yuk simak cerita aku selanjutnya.
Jadi... sepanjang cerita mereka (yang aku terjebak didalamnya) penuh dengan keraguan dan jauh dari penilaian yang baik terhadap pasangan anak-anak mereka. (Nah ini seremnya. Berhubungan baik dan berkomunikasi baik dengan mertua ternyata belum tentu kita lulus sensor bok!! Hikssss).
Singkat cerita. Ada kalimat yang aku tangkap sebagai latar belakang kenapa hubungan menantu dan mertua perempuan penuh dengan lika-liku.
"Jujur aku cemburu dengan dia (pasangan anaknya)." Kata si Ibu A.
"Sama. Aku pun juga. Anak yang kita lahirkan dan besarkan lebih sering sama orang lain. Agak nggak yakin aku apa bisa dia ngerawat anak kita kayak kita rawat anak kita dulu". Tambah Ibu B.
Jleb!
Sepintas dalam hati aku ngebatin.
Beughhh... si Ibu-ibu ini gitu kali ngomongnya ya. Kalau mereka sendiri yang mendegar kalimat serupa dari mertua perempuan mereka gimana kah kira-kira perasaannya?
Jadi saat itu didekatku ada dua orang ibu-ibu paruh baya yang awalnya mereka ngobrolin anak masing-masing, lalu nyerempet ke masalah pasangan anak masing-masing.
Dari ceritanya aku nyimpulin yang satu anaknya udah nikah. Yang satu akan menikah. Dan dari cerita keduanya juga tertangkap kalau mereka sehari-harinya memiliki hubungan yang baik dengan menantu dan calon menantunya. Bahkan sepertinya akrab. Karena ada kalimat yang mengarah kalau mereka sering berpergian dan menjalin komunikasi yang intens dengan menantu dan calon menantunya. Di bagian ini aku agak serem. Kenapa? Yuk simak cerita aku selanjutnya.
Jadi... sepanjang cerita mereka (yang aku terjebak didalamnya) penuh dengan keraguan dan jauh dari penilaian yang baik terhadap pasangan anak-anak mereka. (Nah ini seremnya. Berhubungan baik dan berkomunikasi baik dengan mertua ternyata belum tentu kita lulus sensor bok!! Hikssss).
Singkat cerita. Ada kalimat yang aku tangkap sebagai latar belakang kenapa hubungan menantu dan mertua perempuan penuh dengan lika-liku.
"Jujur aku cemburu dengan dia (pasangan anaknya)." Kata si Ibu A.
"Sama. Aku pun juga. Anak yang kita lahirkan dan besarkan lebih sering sama orang lain. Agak nggak yakin aku apa bisa dia ngerawat anak kita kayak kita rawat anak kita dulu". Tambah Ibu B.
Jleb!
Sepintas dalam hati aku ngebatin.
Beughhh... si Ibu-ibu ini gitu kali ngomongnya ya. Kalau mereka sendiri yang mendegar kalimat serupa dari mertua perempuan mereka gimana kah kira-kira perasaannya?
Tapi tiba-tiba aku. Berpikir lagi.
DAMN! MEREKA BENAR SIS...
Gini ya bok, ini anakku masih kecil aja. Aku udah bisa meramalkan betapa cemburunya aku dengan pasangannya nanti. Sedih lho ini. Ini aja nulisnya sampe nangis. Nggak rela!
Bayangkan, anak yang kita kandung, kita lahirkan, kita jaga, bahkan hampir seluruh hidup kita untuk dia. Harus kita relakan untuk menjalani kehidupan dengan orang lain. Bahkan ketika dia memutuskan hidup dengan orang lain, kita benar-benar harus ikhlas kalau kita bukan satu-satunya (lagi) orang yang berarti dalam hidup dia. Bisa jadi kita adalah yang kedua, walaupun mulut dan hatinya mengatakan "aku sayang mama". Tapi kita tahu, mulai saat itu, setiap hidup dan perjuangannya bukan diprioritaskan lagi untuk kita. Tapi untuk istri dan anaknya.
Tapi kita harus mau. Kita harus ikhlas, karena itu adalah tujuan kita membesarkannya. Membesarkan anak laki-laki yang bertanggung jawab untuk hidupnya dan keluarganya.
Nah, posisi ini juga yang tengah dihadapi oleh mertua kita. Membiarkan dan merelakan anaknya bersama kita yang notabene adalah orang lain. Orang yang baru dia kenal. Orang yang baru anaknya kenal.
Ada pergantian posisi yang tidak mudah untuk diterima dan dijalani disini. Sulit. Walaupun harus direlakan. Batin seorang ibu yang memiliki anak lelaki dan menjadi seorang mertua pasti tidak mudah menjalani ini. Dia juga pasti sedang ber-proses untuk menerima keadaan ini. Wajar kalau terkadang proses ini menimbulkan reaksi yang kadang sulit kita terima.
Kenapa sulit kita terima? Karena kita mungkin tidak memiliki niat merebut, tidak memiliki niat untuk menyakiti, dan kita belum memahami karena belum menjalani.
Dan, jika kita bertanya, kenapa sikap mertua berubah? Mungkin sebenarnya bukan berubah. Hanya saja tidak seperti yang diharapkan. Mertua sebagai sosok yang lebih dewasa, dianggap lebih sempurna dan selalu menjadi contoh yang baik. Tapi semuanya relatifkan? Menjadi contoh yang baik dan menjadi pribadi yang baik itu relatif untuk setiap orang.
Dan, jika kita bertanya, kenapa sikap mertua berubah? Mungkin sebenarnya bukan berubah. Hanya saja tidak seperti yang diharapkan. Mertua sebagai sosok yang lebih dewasa, dianggap lebih sempurna dan selalu menjadi contoh yang baik. Tapi semuanya relatifkan? Menjadi contoh yang baik dan menjadi pribadi yang baik itu relatif untuk setiap orang.
Begitu juga dengan menantu, sebagai orang yang dianggap akan menggantikan posisi ibu dari pasangan, kita dituntut untuk serba bisa, serba tahu serba mahir. Tapi semua butuh proses. Butuh waktu.
Nah karena gitu juga, kita hanya terfokus pada bagaimana kita terlihat menyenangkan dan baik dimata ibu pasangan kita. Bukan benar-benar menilai watak dan sifat calon mertua kita. Kalau kita memahami sifat dan wataknya dari awal, kita nggak kaget. Kita justru lebih matang dalam menghadapi mertua kita. Udah paham. jadi nggak shock. Nggak kaget.
Bukan berarti watak mertua kita buruk ya, tapi pasti ada hal-hal yang tidak sesuai sama pola pikir dan karakter kita. Ini harus di pahami dari awal. Karena kalau nggak paham, ujung-ujungnya kecewa.
Jangan sementang asal nanti jadi sama anaknya aja lah.
Satu yang aku sering banget dengar dan selalu menggema-gema dibenakku. Menikah di Indonesia ini tidak hanya menikah dengan pasangan kita. Kita juga nikah dengan keluarga besarnya sis. Itu benar! Keluarga besar lho. Bukan keluarga inti lagi. Walaupun tinggal terpisah dengan mertua. Aku juga pernah menjalani tinggal terpisah dengan mertua dan kini tinggal satu atap, jadi tahu benar rasanya menjalani dua hal itu. Hampir nggak beda sebenarnya. Wkwkwk.
Kalau ada yang berpendapat. Hubungan suami istri itu baiknya layaknya partner. Mitra. Di Indonesia, apalagi untuk beberapa keluarga yang pola pikirnya sangat-sangat konvensional, kita dapat bonus cin. Partner hidup kita nggak hanya satu, si suami tadi. Tapi juga seluruh keluarga besarnya.
Contoh nih. Pasangan suami istri sudah sepakat untuk menunda anak setelah menikah. Oke. Mereka mantap. Hampir mayoritas keluarga besar dari seluruh pasangan suami istri di Indonesia ini protes dan menuntut untuk pembatalan niat tersebut dan dititahkan untuk mengikuti kemauan mereka. Punya anak segera atau kalian mendapat sangsi sosial.
Kalau ada yang berpendapat. Hubungan suami istri itu baiknya layaknya partner. Mitra. Di Indonesia, apalagi untuk beberapa keluarga yang pola pikirnya sangat-sangat konvensional, kita dapat bonus cin. Partner hidup kita nggak hanya satu, si suami tadi. Tapi juga seluruh keluarga besarnya.
Contoh nih. Pasangan suami istri sudah sepakat untuk menunda anak setelah menikah. Oke. Mereka mantap. Hampir mayoritas keluarga besar dari seluruh pasangan suami istri di Indonesia ini protes dan menuntut untuk pembatalan niat tersebut dan dititahkan untuk mengikuti kemauan mereka. Punya anak segera atau kalian mendapat sangsi sosial.
Jadi selain memahami karakter pasangan, juga harus memahami karakter keluarga besarnya. Tapi ya udah sebatas paham dan legowo aja dengan apapun penilaian kita. Toh belum tentu juga kita baik dimata keluarga besarnya. Sama-sama memahami dan menerima lah.
Jadi gini, untuk dedek-dedek yang belum nikah. Nggak usah parno atau takut. Mungkin harapan kalian bisa diubah lebih realistis aja. Bersikap yang baiklah sama calon mertua atau orangtua pacar. Tapi benar-benar baik sebagai manusia. Bukan peres, caper, dan sebagainya yang merujuk pada cari muka atau ambil hati. Jadi manusia yang baik aja. Bersikap baik sebagai manusia.
Nggak perlu terlalu tampil. Maksudnya tampil gimana kak?
Gini, misalnya nih ibu pacarmu ulang tahun. Lalu anaknya ngajak kamu nyari kado. Lalu ketika acara pemberian kado, kamu sekonyong-konyong nyerocos.
"Tante suka sama kadonya? Itu aku lho yang pilih."
Kalau kamu pikir kamu melakukan itu agar ibunya simpatik sama kamu, kamu salah dek. Dia bahkan nggak akan ingat itu sebagai bentuk perhatian kamu. Dia mikirnya, "Huh.. kirain anakku yang pilihin untuk aku". Disitu tanpa kamu sadari dia sudah merasa kalau anaknya nggak perhatian sama dia. Bukan anaknya yang bikin dia bahagia. Disitu dia udaj dapat poin kalau kamu merebut anaknya. Selow aja dek. Nanti juga pacarmu jelasin sama ibunya kalau dia beli kadonya sama kamu. Disitu justru perhatianmu lebih terlihat.
Kalau kamu pikir kamu melakukan itu agar ibunya simpatik sama kamu, kamu salah dek. Dia bahkan nggak akan ingat itu sebagai bentuk perhatian kamu. Dia mikirnya, "Huh.. kirain anakku yang pilihin untuk aku". Disitu tanpa kamu sadari dia sudah merasa kalau anaknya nggak perhatian sama dia. Bukan anaknya yang bikin dia bahagia. Disitu dia udaj dapat poin kalau kamu merebut anaknya. Selow aja dek. Nanti juga pacarmu jelasin sama ibunya kalau dia beli kadonya sama kamu. Disitu justru perhatianmu lebih terlihat.
Kalau nggak dijelasin pacarku gimana kak?
Ya udah. Terus kenapa?
Nggak perlu terlalu ingin dinilai baik sama keluarga pacar, karena penilaian yang sebenarnya adalah ketika kamu menjadi istrinya nanti. Dan itu akan menjadi penilaian terpanjang dalam hidup. Bakalan dinilai terus kita sebagai menantu, jadi simpan energinya dek. Nggak perlu di boom dari awal pacaran. Nanti kamu lelah dek.
Pastinya kita harus selalu menjaga dan menahan sikap kita. Menyadari kalau ini tuh sebenarnya biasa, hubungan kita dengan ibu kita juga sering memanas kan? Hanya aja, kita lebih bisa mengeluarkan isi hati kalau sama orangtua sendiri. Kalau sama mertua banyak yang harus dipikirkan, banyak hal harus dijaga. Ya wajar.
Tapi, ketika kekecewaan kita sudah diubun-ubun. Perasaan kita sedikit terluka. Sadar mbak, lelaki yang menafkahi dan bertanggung jawab atas hidup kita saat ini, siapa yang melahirkan, membesarkan, mendidik, dan mengantarkan dia sebagai sosok yang kompeten sehingga kita memilih dia? Ya ibu-nya. Jangan pernah lupa, ada jasa seorang ibu dalam diri lelaki yang kita panggil suami.
Jangan pernah lelah untuk belajar menahan diri dan selalu introspeksi. Kalau terlalu lelah dengan keadaan, ambil sedikit ruang untuk lebih menenangkan diri dan menguatkan hati. Beberapa hari mengurangi intensitas berbicara dan bersenda gurau dengan mertua its oke ya. Asal jangan benar-benar mendiamkan dan mengabaikan. Jangan pernah lupa kalau kita juga salah. Kalau mertua juga wajar salah.
Jadi... sebenarnya hubungan mertua dan menantu nggak sepanas itu kan? Hanya perlu merubah mind set yang saat ini beredar di masyarakat kita tentang hubungan yang sakral ini. Merubah mind set itu kearah yang lebih realistis dan penuh empati.
Dan ini bukan postingan ngomporin kan?
Haha...
Sampai bertemu di postingan selanjutnya.
XOXO
Madamabi___
Dan ini bukan postingan ngomporin kan?
Haha...
Sampai bertemu di postingan selanjutnya.
XOXO
Madamabi___
Wah belom nikah mbak. Tapi emang hubungan sama calon mertua sih ya yang bikin takut. Takutnya beliau kurang bisa terbuka sama kita. Takut menganggap menantunya ga bisa apa-apa. Pandangan camer thd kita itu juga bikin takut. Aduuh padahal ketemu jodoh aja belom mbak, kok ini malah udah taku duluan hehehehe
ReplyDeleteJangan dong mbak. Aku kan nggak nakut-nakutin. Hehehe
DeleteAh setuju bgt mba. Wajar mertua menghkawatirkan anaknya lah kita sendiri anak masih piyik sudah bisa bayangin galaunya kalau anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan pasangannya nanti.
ReplyDeleteOh ya saya sendiri dangat terbuka dengan suami utk bilang kalau saya ga akan bisa akrab bgt sama bumer karena memang bru kenal setelah menikah beda dgn ortu sendiri yg saya bisa cerita dan bermanja. Intinya kita saling menghargai dan menghormati aja walau ga bisa akrab. Dan suami setuju krn dia juga ga bisa leluada kalau sama ortu saya hha
Wah bener bener mbak. Kuncinya adalah saling menghormati kan ya.. 😍
DeleteTercerahkan..
ReplyDelete