Thursday, November 2, 2017

Parenting: Menghindari Anak Sebagai Korban Dan Juga Pelaku Perundungan


Kemarin sekilas lihat di TV ada kasus tentang perundungan anak. Awalnya aku nggak gitu ngeh, apa sih perundungan anak? Setelah menyaksikan beritanya dan membaca beberapa berita online tentang kasus tersebut aku mulai mengerti letak permasalahan kasus ini. 

Oh, ternyata ada seorang anak yang diolok-olok oleh temannya karena ciri fisiknya mirip dengan Ahok. Oke, bisa disimpulkan kasus bullying ya?

Sebagai orangtua, pasti kasus ini menimbulkan kecemasan untukku. Cemas yang bukan hanya takut anak menjadi korban kasus serupa, tapi juga kecemasan dan ketakutan jika anak kita-lah yang menjadi pelakunya. Kita tidak mungkin hanya berpikir bagaimana menghindari anak sebagai korban. Tapi kita juga harus menempa anak agar tidak menjadi pelaku. Nggak mungkin lah kita hanya mikir egois, pokoknya anakku jangan disakiti orang. Kita juga harus menjaga agar anak kita tidak menyakiti orang lain. 

Karena, jika anak hanya dididik untuk menyelamatkan diri sendiri agar tidak jadi korban, itu sama aja kayak menerapkan hukum rimba. Memburu atau diburu? Nah, ini justru bisa menjadi alasan untuk melakukan perundungan atau pembullyan agar berada dalam rantai makanan tertinggi. Ini tuh bisa memunculkan pemikiran seperti ini di benak anak. "Ah, aku harus berkuasa biar semua orang takut sama aku. Biar nggak ada yang berani jahatin aku". 

Aku memang bukan psikolog anak ataupun pakar yang berkaitan dengan kasus ini. Tapi, kehidupan anak, masa-masa sekolah udah pernahlah aku jalani. Bolehlah melihat hal ini berdasarkan pengalaman. 

Kasus ini juga bikin aku mikir untuk menerapkan beberapa hal, baik kepada Bang Abi dan juga diriku sendiri, agar Bang Abi jauh-jauh dari hal begini. Baik sebagai korban ataupun pelaku. Dibully atau membully. Dikuasai atau berkuasa. Karena ketika anak melakukan kesalahan, sebenarnya kitalah yang lebih dahulu melakukan kesalahan tersebut. Sadar tidak sadar. Sengaja ataupun tidak. Yess. jadi orangtua itu banyak sekali PR-nya.

Perilaku Orangtua Harus "Sehat"

Kita sering banget ya mengharapkan hal yang muluk-muluk sama anak. Contoh nih, begitu anak lahir kita bilang kalau semoga kamu menjadi anak yang sholeh, cerdas, berbakti sama orangtua. Iya benar! Itu doa yang baik. Kata-kata positif. Sangat baik. Cumaaa, kita seringnya ngomong aja. Nggak ngasih contoh seperti doa kita sama anak kita tadi. Doanya nggak perlu dihilangkan. Jangan. Perilaku kita yang di upgrade.

Nah hubungannya apa sama kasus perundungan?
Hubungannya adalah, sebagai orangtua (ini bilangin diri sendiri ya, nggak bilangin orang lain) seringnya cuma ngomong aja. Nggak menerapkan lingkungan yang benar-benar "sehat" untuk anak. Bukan lingkungan sehat secara medis ya. Tapi budaya kebiasaan orang tua yang kurang sehat. Contoh nih, masih suka ngomongin tetangga. Memojokkan orang yang berbeda pendapat sama kita. Ngerumpiin kesalahan orang lain dan memposisikan diri kita yang lebih baik dari dia. Duh, aku sering nyadar sih. Tapi besok-besoknya masih sering dibuat lagi. Hahaha

Semakin dewasa anak, tanpa kita sadari meresap semua hal-hal yang kita lakukan dan apa yang dia lihat. Kita memang sering mendidik anak berbuat buruk tanpa sengaja dan tanpa kita sadari malah. Ah yang kayak gimana tuh mendidik anak hal buruk tanpa sengaja?

Kayak gini nih, pernah lihat nggak ada orang tua yang ketika anaknya jatuh dia memukul-mukul tempat dimana anak tersebut jatuh. Misal jatuhnya di lantai, nah lantai itu bakalan dipukul deh habis-habisan ditambah dengan kata-kata "huh rasain kau lantai, aku pukul kau, kau bikin anakku jatuh" seolah-olah silantai adalah biang keladi dari kecelakaan tersebut. Dan kita melakukan itu agar anak kita senang, tidak menangis lagi, dan merasa terbela. Tapi... apakah itu semua benar? Bayangkan ya. Pertama, lantai itu benda mati yang tidak bisa bergerak menjegel anak kita sampai terjatuh. Jadi kita sudah mengajarkan anak untuk berpikir tidak logis dan mengajarinya menuduh. Kedua, anak tidak mengerti kesalahan dan kelalaianya dimana sampai dia bisa terjatuh. Dan sebagai orangtua, kita lah yang paling lalai karena kurang cermat menjaga anak kita. Yang paling parah kita mengajarkan anak untuk mengkambing hitamkan sesuatu atas kesalahan sendiri. Ketiga, kita membuat anak tidak bisa mengkoreksi dan mengintrospeksi dirinya. Anak harus diajarkan untuk menyadari dan memperbaiki kesalahan. Ini secara tidak langsung membuat dia belajar untuk menerima kekalahan, dan membuat nya mudah untuk bangkit dari kegagalan.

Hal diatas juga mengenalkan anak dengan hal memukul. Dia jadi terbiasa untuk memukul setiap hal yang tidak dia sukai. Disinilah anak mendapat ilmu menyakiti orang lain. Pokoknya kalau nggak senang, hajarrrr. Anehnya, kalau anak melakukan itu didepan orang banyak kita bukannya nyadar sama kesalahan kita. Kita cuma malunya aja, tapi nyadar kalau kita biang keladinya, nggak. Malah kita sering ngucapin kalimat "ih kok kamu mukul-mukul? siapa yang ngajarin?" Wkwkwk. Kocak yang kita??

Kasus ini benar-benar reminder ya buat aku. Semoga bisa menciptakan budaya dan perilaku yang sehat untuk karakter Bang Abi. Budaya dan lingkungan yang sehat akan melahirkan kebiasaan dan perilaku yang sehat juga, aku yakin sekali dengan hal itu. Hussss jauh-jauh sana kebiasaan buruk.

Stop Bekata Buruk Apapun Bentuknya

Kata-kata yang buruk juga pasti akan mempengaruhi attitude anak. Jika anak sering mendengar kata-kata buruk, maka dia akan sering juga mengucapkan kata-kata buruk.

Pernah dengar mitos ngomong kebalikan sama anak bayi/kecil supaya si anak nggak diganggu setan? Kayak gini, kalau ada anak yang mancung dibilang pesek. "Ih kamu idungnya pesek sekali" dengan ekspresi gemas. Tapi dilain kesempatan juga mengedukasi anak kalau hidung pesek itu jelek. Jangan mau jadi orang pesek, itu tandanya fisik kamu nggak sempurna (ini bukan kataku ya, ini makna yang seolah tersirat dari persepsi masyarakat kita tentang kesempurnaan fisik). Maksud aku tuh gini ya, kenapa nggak bilang aja kalau anak itu mancung kalau memang dia mancung. Atau kalau pesek ya biarin aja tanpa tendensi apapun. Biasa ajalah, namanya juga manusia. Ciri fisiknya macem-macem. Jangan ajarin anak untuk menyesali pemberian tuhan. Stop mengomentari fisik manusia!

Lebih parah lagi mensosialisasikan olokan atau ejekan sebagai bentuk candaan. Ini tuh lucunya dimana ya? Ya nggak semua orang boss bisa menerima olokan dengan pikiran positif. Kalau orang tersebut memang insecure atau punya pengalaman buruk malah sampai trauma parah sama candaan (baca:olokan) tersebut ini bisa mengganggu kesehatan mentalnya lho.

Stop deh bercanda dengan olokan, dan berucap dengan kata-kata negatif. Nggak lucu dan nggak berfaedah. Orang dewasa saja, nggak semua bisa lempeng dan berlapang dada menerima olokan berkedok candaan itu. Apalagi anak-anak? Hellooooo!!!

Buang Jauh-Jauh Kebencian Yang Menggebu-gebu

Negara kita sempat panas-panasnya tentang masalah benci-membenci ya. Entahpun sekarang masih?? Tentang kebencian beredar diamana-mana. Semua hal tentang kebencian menyebar keseluruh lapisan masyarakat kita tanpa disaring, seolah-olah sesuatu yang lumrah dan nggak apa-apa, biasa aja.

Semua orang teracuni untuk mengungkapkan kebencian tanpa disaring. Di sebelah barat ngomongin kebencian tentang tokoh A. Ditimur ngomongin kebencian terhadap pemerintahan B. Diselatan ngomongin kebencian kepada artis C. Didunia maya ngikutinnya akun yang menebar prasangka dan dipenuhi dengan komentar kebencian.

Kebencian dimana-mana. Parahnya yang dibenci adalah orang yang nggak dikenal. Hal-hal yangg nggak berhubungan langsung sama kita.

Anak-anak jadi melihat hal benci-membenci ini sebagai hal yang lumrah. Dan melampiaskan kebencian, yang sudah pasti dengan hal negatif, serta menganggap perilaku tersebut dapat diterima.

Pasti setiap orang memiliki rasa tidak simpati terhadap orang lain dan suatu hal. Oke, itu manusiawi. Tapi kenapa nggak mengarahkan diri untuk introspeksi dari hal yang kita tidak sukai, dan menghindarinya. Membenci dengan teramat sangat, sama aja dengan menjurumuskan diri kedalam hal buruk yang tidak kita sukai. Perilaku orang tua yang cerdas dalam bertindak akan membuat anak juga berhati-hati dan legowo dalam berprilaku. Sikap positif akan menebarkan budaya positif. Setuju?

Membangun Keperdulian dan Empati 

Ketika kita perduli dan berempati terhadap orang lain, kita akan memahami dan dapat menerima seseorang maupun sesuatu hal dengan hati yang bersih dan pikiran yang lapang. Kita jadi mikir untuk menyakiti orang lain, karena kita akan berpikir bagaimana jika kita yang berada diposisi tersebut. Lalu kita juga perduli dengan hak bahagia orang lain yang harus kita hormati.

Jika keperdulian dan empati ini ditanamkan sedini mungkin kepada anak, dia akan akrab dengan yang namanya menghargai hak orang lain. Menurut aku ini kunci agar dia bisa menahan perilakunya agar tidak semena-mena. Anak menjadi sadar dengan makna memahami, mengerti dan berlapang dada. Pemahaman tentang keperdulian dan empati itu juga diperlukan agar anak tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang ujung-ujungnya menyakiti dan menimbulkan kebencian.

Btw, aku selalu merasa dan berpikir kalau empati itu harganya sangat mahal. Bahkan untuk orang yang memiliki pengalaman dan kehidupan yang samapun tidak pernah benar-benar bisa berempati. contoh yang paling dekat. Ibu membully ibu lainnya dengan ucapan-ucapan yang sebaiknya ditelan sendiri saja. Contohnya ketika menjenguk ibu yang baru bersalin, "ih kok belum bisa ngASI? Ibunya malas ya? takut kendor ya? bla...bla.. bla.."  Pokoknya semuanya sotoy deh. Perempuan merendahkan perempuan lainnya. "Kok suaminya selingkuh? dia sih nggak jaga badan, nggak enak pasti masakannya, hufft rumahnya berantakan terus sih". Ampun deh!

Kita Memang Berbeda dan Beragam Nak

Inti yang paling sakral dari kasus yang dibahas di postingan ini menurutku adalah, kita belum santai dengan perbedaan dan keberagaman di bangsa kita yang memang sangat berwarna-warni ini. Mencintai suku dan budaya bukan berarti menjadi chauvinis kan?

Tidak hanya memakai kain batik atau beli sarung tenun dengan harga selangit saja untuk membuktikan kita mencintai perbedaan dan budaya bangsa yang beragam. Nyatanya stereotipe terhadap suku tertentu masih melekat kuat dalam kebiasaan kita dan menjadi tolak ukur kita untuk menilai orang.

Pernah dengar kan ucapan senada seperti berikut ini. "Jangan mau nikah sama perempuan dari suku A, matre semua!" "Jangan mau sama laki-laki dari suku B, pemalas semua." "Ihh..dasar orang suku C, pelit!" "Dia itu suku D, makanya pendendam!" Ini familiar nggak sih? Kalau aku familiar sekali dengan hal-hal seperti ini. Ini adalah hal yang masuk dalam list teratas yang ingin aku jauhkan dari jangkauan Bang Abi. Aku ingin kelak dia menjadi orang yang mencintai setiap perbedaan dan keberagaman dalam bangsa ini.

Menghargai Dirinya dan Mempertahankan Harga Diri Yang Benar

Aku pernah baca di salah satu artikel parenting, sorry lupa dimana pastinya. Bahwa, salah satu hal yang mendasari anak melakukan bullying adalah ketidak mampuan si anak dalam menghargai dirinya. Anak tidak dapat menghargai dirinya bisa disebabkan oleh beberapa hal, menurut artikel itu. Pertama, sering diabaikan oleh orang tua. Kedua, tidak diberi ruang untuk mengekspresikan diri. Ketiga diabaikan haknya sebagai manusia karena dianggap sebagai anak-anak. Kurang lebih begitu deh isinya.

Aku setuju ya, orangtua harus membantu anak dalam membangun harga dirinya. Membisikan hal-hal positif dalam konsep diri anak. Membuat anak menghargai dirinya tanpa mencoreng harga diri orang lain. Mengungkapkan kebaikan anak tanpa harus membandingkannya atau bahkan menjatuhkan orang lain agar anak merasa dia lebih baik.

Sedangkan mempertahankan harga diri anak, dengan cara membiarkan dia untuk memilih dan memiliki prinsip dalam pilihannya tersebut. Kecenderungan kita sebagai orang tua adalah, merasa bahwa apa yang kita katakan kepada anak adalah yang paling benar. Padahal anak juga berhak memilih. Dia punya harga diri, punya hak untuk mau atau tidak melakukan suatu hal.

So Sorry, tulisan ini lari kemana-mana, karena ini tuh memang bikin aku sangat emosional ya. Sedih, kecewa, marah, cemas, dan aduh.. nggak ngerti deh. Aku yakin walaupun tidak diliput media, masalah seperti ini pasti banyak sekali. Sebagai orangtua, miris sekali hati ini membayangkan anak-anak kita memiliki pengalaman seperti ini. Yakin seyakin yakinnya ini bakalan mempengaruhi psikologis dan watak mereka sampai besar. Baik yang menjadi korban ataupun yang melakukan. 

Semoga anak-anak kita semua terhindar dari hal tidak baik, dan berada dalam lingkungan yang positif. Semoga kelak bangsa ini akan diisi dengan generasi-generasi berkualitas yang selalu berpikir dan berprilaku positif. Semoga.

XOXO

Madamabi___

2 comments:

  1. Sepakat mbak, anak-anak adalah peniru ulung yang pasti akan mencontoh orang dewasa di dekatnya (orang tua)
    Masalah olok-olok untuk becandaan, nggak cuma anak-anak, orang dewasa pun bisa jadi sakit hati. Bisa jadi timbul perselisihan. Apalagi kalau suasana hati orang yang dijadikan bahan candaan sedang tidak baik. Dilingkungan kantor saya juga sering begitu, kalau pas kumpul, kadang becandanya kelewatan. Kalau sudah mulai begini, saya memilih untuk menyingkir saja. Belum bisa pada tahap mencegah atau menghentikan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. PR kita sebagai org dewasa ini banyak. Banyak hal yang harus di benahi agar generasi kita memiliki perilaku yang positif. ♥

      Delete

Hai. Terimakasih sudah membaca postingan ini. Silahkan memberi komentar yang baik dan tentu saja sopan ya dear. 😘

Review: Tavi Urban Shield 3 In 1 Super Fine Mist

Face mist adalah salah satu produk skincare yang menurutku experiencenya selalu menyenangkan dan cukup memanggilku sebagai si pemilik kulit ...