Sama seperti proses menyusui, menyapih
juga mengharuskan kita untuk putar otak, mantapkan hati, serta kuatkan mental.
Aku ingin berbagi kisah, bagaimana memberhentikan pemberian ASI kepada Bang
Essam. Fyi, anakku berhenti ASI ketika berusia 2 tahun 3 bulan. Metode yang
diterapkan adalah diberi pemahaman, tanpa dioles pahit-pahit atau trick
berdarah.
Sebelumnya, ini hanya sekedar sharing ya. Aku yakin setiap orang punya cara sendiri, dan setiap keputusan orangtua itulah yang terbaik untuk anaknya. Intinya, senyamannya kita menjalani dan senyamannya anak kita saja.
Berikut beberapa hal yang kami terapkan
ketika ingin menyapih Bang Essam.
Kedua
Orangtua Harus Satu Suara
Sebelumnya, aku dan suami intens
membahas masalah ini. Berdiskusi dan saling bertukar pikiran, serta pendapat
seputar masalah menyapih ini. Sebenarnya ini bukanlah hal yang sulit bagi kami,
karena aku dan suami memiliki bekal pemahaman breastfeeding yang sama. Iya,
kami berdua sama-sama mengedukasi diri ke DSA yang merupakan konselor
laktasi. Jadi seperti apa pemahaman ASI-ku, seperti itu jugalah pemahaman suamiku.
Tapi, bukan berarti masalah ini tidak
didiskusikan secara serius. Tetap perlu menyatukan patokan lain. Seperti,
dimulai dari kapan? Bagaimana kalau tidak sesuai rencana? Karena kami harus
sama-sama menyiapkan diri dan mental. Jadi jangan sampai, aku udah siap, tapi
dia belum. Begitupun sebaliknya.
Satu hal lagi, kenapa peran bapak sangat
diperlukan dalam proses menyapih? Karena ketika anak melihat orangtuanya tidak
sependapat, besar kemungkinan untuk anak meminta pembelaan/dukungan kepada
pihak yang bersebrangan.
Tetapkan
Konsep dan Metode
Setelah sama-sama setuju dan satu
pemahaman. Kami mulai memikirkan bagaimana caranya. Iya, karena metode menyapih
ini banyak sekali kan? Tinggal memilih yang sesuai dengan keinginan dan
kesiapan. Metode ini dibuat, agar kita lebih konsisten dengan
keputusan diawal. Tidak terombang-ambing ditengah jalan.
Untuk masalah menyapih, kami sepakat. Jangan
dipaksa. Perlahan dan santai saja. Tidak pakai trick pahit-pahit, maupun
pura-pura berdarah, ataupun sakit. Kami berusaha untuk menjelaskan kepada Bang
Essam, kenapa dia harus berhenti menyusui langsung. Karena menyusui itu untuk
anak bayi sampai dengan usia dua tahun. Selebihnya dia minum susu melalui
gelas. Ya apa adanya ajalah. Begitu ya begitu.
“Abang nanti kalau sudah dua tahun, minum susunya dari gelas ya. Kalau menyusui sama mama, itu waktu masih bayi. Kalau udah dua tahun, kamu bukan bayi lagi.”
Nggak jarang sih hal ini suka dianggap
nggak masuk akal.
“Apaan sama anak kecil diomongin begitu. Emang
paham?”
Ini sih udah makanan sehari-hari ya, dikomenin begini. Tapi
kami memang yakin, anak kami bakalan paham. Percaya dan yakin saja. Orang bisa
berkata apapun, tapi yang menanamkan “nilai” kepada anak, ya orangtuanya.
Mulai
Dari Jauh-Jauh Hari
Karena memberi
pemahaman itu memang tidaklah mudah. Kami juga yakin ini bukan proses yang
instan. Akan memakan waktu yang panjang. Maka kami memulainya ketika Bang Essam
berusia satu tahun setengah. Mulai saat itu, kami rajin membisikkan kepadanya
kalau dia nanti akan berhenti menyusui langsung. Aku dan papanya secara
bersamaan mengatakan hal tersebut kepadanya ketika akan tidur malam.
Awal-awal
sekali, dia seperti tidak merespon. Dia hanya menatap kami, tidak serius, lalu
kembali berceloteh tentang kegemarannya. Lama kelamaan, dia mulai ngeh dan
paham. Awalnya sempat ada reaksi, “nan ma… nan pa..”(jangan ma… jangan pa…). Tapi
karena memang masih jauh dari Hari H (saat dia berusia dua tahun), jadi kami
tetap mengingatkan hal tersebut. Terus menerus sampai dia mengerti, tapi tetap
memberi ruang untuk menerima dan mengerti.
Bantu Proses Pemahaman Dengan Ilustrasi Visual
Pemahaman yang kami berikan kepada Bang Essam, tidak hanya berupa kalimat. Aku berusaha memberi gambaran situasi melalui gambar.
Pertama kami sering mencekoki dia tentang perbedaan bayi dengan anak seusianya. Kami tunjukkan foto ketika dia bayi, dan foto bayi-bayi lainnya yang kami jumpai dimana-mana. Seperti ketika berjalan-jalan, lali ada papan iklan produk bayi dan ada bayinya. "Bang lihat tuh, ada adek bayi. Kamu dulu juga bayi Bang. Sekarang sudah abang-abang".
Begitu juga ketika kami menginfokan, dia sudah berada di usia yang bagaimana. Kami menunjukkan gambar anak-anak seusianya. "Lihat nih, ini abang-abang seusia kamu ya nak".
Lalu kemudian masuk ke pokok permasalahan. "Bang itu ada adek bayi, adek bayi minum ASI ya sama mamanya. Kayak kamu dulu" sambil menunjuk poster kampanye ASI ekslusif di rumah sakit, ketika imunisasi.
Iklan susu di televisipun kami manfaatkan dalam proses menyapih ini. Walaupun Bang Essam tidak mengkonsumsi susu di iklan tersebut. Kami biasanya langsung menanggapi iklan sambil berucap, "Bang itu dia seusia kamu kan. Abang-abang. Dia minum susunya nggak dari mama-nya lagi nak".
Pertama kami sering mencekoki dia tentang perbedaan bayi dengan anak seusianya. Kami tunjukkan foto ketika dia bayi, dan foto bayi-bayi lainnya yang kami jumpai dimana-mana. Seperti ketika berjalan-jalan, lali ada papan iklan produk bayi dan ada bayinya. "Bang lihat tuh, ada adek bayi. Kamu dulu juga bayi Bang. Sekarang sudah abang-abang".
Begitu juga ketika kami menginfokan, dia sudah berada di usia yang bagaimana. Kami menunjukkan gambar anak-anak seusianya. "Lihat nih, ini abang-abang seusia kamu ya nak".
Lalu kemudian masuk ke pokok permasalahan. "Bang itu ada adek bayi, adek bayi minum ASI ya sama mamanya. Kayak kamu dulu" sambil menunjuk poster kampanye ASI ekslusif di rumah sakit, ketika imunisasi.
Iklan susu di televisipun kami manfaatkan dalam proses menyapih ini. Walaupun Bang Essam tidak mengkonsumsi susu di iklan tersebut. Kami biasanya langsung menanggapi iklan sambil berucap, "Bang itu dia seusia kamu kan. Abang-abang. Dia minum susunya nggak dari mama-nya lagi nak".
Ketika
Hari H
Tepat di malam, dimana keesokannya dia
akan berusia dua tahu tiga bulan. Aku dan papanya spontan sepakat mulai
memberhentikan ASI kepadanya. Sebelum tidur, kami bicara lebih serius lagi
kepadanya, dengan penekanan kata-kata yang lebih dalam.
“Abang, malam ini tidurnya nggak pake mimik
ya.” Kata kami berdua.
Responnya? Manyun tapi diam. Lalu kami
peluk sambil dielus-elus kepalanya. Tanpa diduga-duga dia tertidur dengan
mudahnya. Sampai disini kami senang, sekaligus kaget. Jujur ya, menidurkan tanpa menyusu itu, adalah hal yang paling aku cemaskan. Aku sempat nggak yakin dia akan bisa tidur tanpa menyusu. Ternyata, semuanya dimudahkan. Alhamdulillah.
Tapi ketenangan itu tidak berlangsung
sepanjang malam. Sekitar tengah malam, dia mulai merengek sambil tidur. Meraung-raung
kecil tapi mata terpejam. Tapi kami tetap mengelusnya. Syukurnya dia kembali
tidur, namun tampak gelisah.
Keesokan paginya, dia terbangun dengan
mood yang seperti orang galau. Tapi tidak minta menyusu. Ketika aku gendong
sambil peluk, dia kembali tenang dan bangun seperti biasa.
Hal tersebut hanya berlangsung di hari
pertama. Keesokan harinya dia seperti sudah mengetahui situasi. Alhamdulillah,
drama menyapih tidak berlarut.
Kasih
Kelonggaran Sedikit
Semuanya memang
mengandalkan proses adaptasi. Lagian bukan berarti setelah sudah berhasil
mengerti. Lalu sama sekali tidak boleh menyusui lagi, dia tetap boleh kangen. Pastilah, kadang
dia merindukan bergelendotan dan mengenang masa-masa menyusui dulu. Nggak usah
cerita anaknya, mamanya aja kadang masih ingin menyusui dan kangen kok.
Kalau begini,
sebulan dua bulan dari berhasil menyapih, masih aku berikan. Tidak konsisten? Entahlah,
tapi aku merasa ini proses yang santai. Yang penting selalu diingatkan, kalau
tidak bagus lagi anak seusianya menyusui.
======================================================
Saat ini Bang Essam sudah berusia dua
tahun delapan bulan. Asupan ASI sudah berhasil digantikan dengan susu UHT. Terkadang
memang masih sering merayu untuk menyusui langsung, tapi begitu diberi kode “tidak
boleh” dia langsung tersenyum sadar. Hahaha.
Nah, parents gimana dengan proses
menyapihnya? Share di komentar yuk. Sharing is caring.
XOXO
Madamabi___
surprise aku sama cerita madam waktu kita semobil tentang bang proses menyapih bang essam.. bahwa abang essam sepengertian itu. bener kali madam, terkadang kalo kita komunikasi sama anak kita depan orang, suka diketawain, dibilang anak masih kecil mana lah paham. kenyataannya anak sangat amat paham biarpun nggak nampak eskpresinya.
ReplyDelete