Monday, April 1, 2019

Tentang Perempuan dan Segala Kesalahan-nya


Holla...

Belakangan ini banyak sekali kejadian-kejadian yang mencabik-cabik perasaanku sebagai perempuan. Baik dari dunia maya maupun dunia nyata. Memang bukan tentang diri pribadi, bisa aja sih dibiarkan menguap. Tapi, hati kecil ini ingin teriak "TIDAK! PLEASE STOP!" Karena aku yakin, nilai- nilai yang melenceng jika dibiarkan akan merebak. Akan berimbas kemana-mana, termasuk diri kita sendiri.

Mulai dari video viral seorang ibu dengan anaknya di mobil. Sampai berita bayi yang dikubur hidup, dan setelah ditelisik ibunya mengidap depresi.

Yang korban siapa? Anak. Yang melakukan? Ibu. Lalu bapaknya ngapain? Kenapa tidak diekspos peran bapak-suami, sebagai salah element terpenting dari sebuah kasus keluarga? Lalu ditelisik ngga, mereka hidup di lingkungan yang bagaimana? Resek nggak keluarga suaminya? Bagaimana support dari keluarganya sendiri? Julid nggak tetangganya? Peduli tidak teman-temannya? Intinya ya, bagaimana support sistemnya gitu lho!

Case 1:

Oke, untuk kasus ibu yang mengubur bayi sudah diketahui jika ibunya depresi. Postpartum depresion-lah mungkin bisa dibilang. Lalu? Lalu ya tetap dia digunjing. Pembahasan tetap pada konteks "ibu yang jahat". Kenapa kita tidak paham-paham yang namanya melihat masalah dari dua sisi? Tidak sanggup-sanggup melihat akar permasalahan? Bukan terpatok pada point "kekejaman" semata. Terus, empati masih mahal banget ya? Serius nanya!

Kemudian, media tolong dong untuk mengedukasi kami jika ada berita begini. Temui dan diskusi dengan psikolog kek. Interview dengan survivor post partum depression yang sudah berhasil melewatinya kek. Apa aja deh! 

Aku yakin banyak kok pejuang depresi paska melahirkan ini yang mau berbagi. Karena mereka tahu betapa berat dan sakitnya diposisi begitu.

Pokoknya sesuatu yang ketika infonya sampai ke masyarakat, akan memberikan pencerahan gitu lho. Bukan semakin memupuk perasaan superior dan tersulut emosi. Yang dimana jelas-jelas unfaedah.

Case 2:

Lalu untuk ibu yang menurunkan dan hampir meninggalkan anaknya di jalan. Oke wait, sebelumnya aku mau nanya. Familiar nggak dengan kalimat begini:

"Mama tinggal kamu ya! Mama mau pergi!" atau "Kamu kalau tidak makan, nanti mama nggak masakin lagi ya!"

Masih banyak lagi kalimat senada yang berisi ancaman karena anak tidak melakukan hal-hal sesuai keinginan kita. Inipun bukan hal baru maupun peristiwa langka. To be honest akupun sering juga melakukan ancaman sejenis tanpa sadar. Karena apa? Karena cukup melekat memang.

Begitupun, aku sering mendengar ancaman senada dari teman-teman mom yang aku kenal. Termasuk dari orang yang begitu peristiwa ini viral, ikutan menghujat si ibu di video dengan status sosmed yang maha suci.

"Sekesal-kesalnya seorang ibu, janganlah begitu bla bla bla" 

Hueeek!!!!

Lalu ditambah dengan kalimat, aku pun begitunya, tapi tidak separah itu. Nah lho! Bukan masalah parahnya. Tapi perilakunya. Masalah parah atau tidak tergantung bagaimana problem hidup masing-masing. Cuma, mbok ya sadar kamupun sama. Dan ada peluang untuk begitu juga.

Hanya saja, belum. Belum ketahuan. Belum kerekam dan disebar sampe viral. Ups!!

Selang beberapa waktu, masalah ini direspon oleh suami dari si Ibu. Yang juga bapak dari si anak. Menurutnya, istri keliahatan baik-baik saja. Nah, jadi begini. Istrinya mungkin baik-baik saja di depannya. Tapi kenyataannya?

Para suami, galilah perasaan istrimu lebih dalam. Jadilah tempat meluapkan perasaannya, dari pada dia harus membatin dan kamu piara bom waktu. Yang sewaktu-waktu bisa meledak. Fyi, seringnya bom waktu seorang istri meledak di anak lho ya.


Jadi kalau sudah kejadian begini, dan pasangannya (masih) mengatakan istrinya baik-baik saja di rumah. Apa sebenarnya tidak ada yang harus dibenahi pada pola interaksi dan komunikasi di kedua pasangan ini?

Aku nggak mau nyalahin ya. Tapi aku melihat ada celah disini. Celah yang menunjukan kalau apapun peristiwa buruk yang terjadi oleh anak, apalagi pelakunya adalah Ibunya. Jelas latar belakangan masalah tidak hanya berpatok pada karakter ibu. Tapi sikap seluruh anggota keluarga. Ya terutama bapak dan suami sebagai Imam. Pemimimpin yang harus tahu, seperti apa medan yang sedang ia pimpin.

Ada yang komen begini.

"Tapi kan, mereka dari kalangan ekonomi yang mumpuni".

Teroooos? Terooos kenapa? Maksudnya apa? Bahagia itu tidak hanya terlihat di badan. Tapi berpusat di hati dan pikiran.

Lah wong isi sigad taklik pas akad aja, "nafkahi lahir-batin". Paham kan?

Case 3:

Lalu di dunia nyata. Baru-baru ini ada kerabat jauh yang masih terikat tali persaudaraan. Seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan anak ke-tiga. Kabarnya karena mengalami pendarahan. Disinyalir karena jarak kelahiran yang begitu dekat. Anak pertama belum genap dua tahun, dan dia sudah memiliki dua adik.

Aku hanya mendengar sampai disitu. Informasi yang kudapat dangkal memang. Tidak tahu apakah memang si ibu memiliki permasalahan kesehatan lainnya. Kenapa?

Karena semua orang yang membahas hal ini hanya sibuk membahas betapa salahnya si ibu ini. Kenapa anak masih kecil, tapi tidak mengatur dan merencanakan jarak kelahirannya.

Oke, masuk akal sih. Tapi kan, apapun keputusan dalam rumah tangga. Tidak hanya kesalahan satu orang. Karena pelaku rumah tangga ya dua, suami dan istri. Suka lupa apa yak?

Lalu aku dengar celetukan yang begini-begini:

"Aduh, kok b*d*h kali la dia itu"

Woy, orangnya udah meninggal lho. Masih dikatain juga.

"Kasiannya lah suaminya. Pasti dia kecewa berat sama istrinya."

Kecewa bagaimana sih maksudnya? Bisa aja keputusan untuk kontrasepsi itu ditentang suaminya. Atau kalau memang itu keinginan dia pribadi, disitulah peran suami.

"Beb, anak kita masih kecil dan rapat jaraknya. Kamu kontrasepsi ya, demi kesehatan kamu beb."

Lagi pula masalah kontrasepsi di masyarakat ini tidak sesimpel itu. Badan memang milik kita, tapi keputusan jadi milik rame-rame. Nggak percaya? Nanti kita bahas di post yang lain ya.

Okelah, memang semua sudah tergaris ya. Takdir. Tapi semua masalah dan peristiwa itu ada kisah lain dibalik itu yang tidak kita ketahui. Tidak sanggup kita pahami dan jalani malah. Jangan menilai dan menghakimi hal-hal yang tidak kita ketahui detail-sedetailnya. Apalagi sampe mengutuki orang yang sudah tidak bernyawa.

======================================================

Hmm... Cukup melelahkan ya kalau membahas peristiwa tentang penghakiman atas perilaku perempuan. Nggak ada abisnya. Nggak ada ujungnya.

Untuk kita pengguna media sosial, boleh nggak sih untuk tidak share hal-hal negatif seperti ini. Agar viral? Untuk apa? Agar kejadian seperti ini tidak terjadi dan jadi pembelajaran? Nyatanya? Malah hal-hal seperti ini, setelah viral hanya akan menyulut komentar dan menciptakan negative vibes. Tanpa solusi juga jadinya. Mending share artikel-artikel yang berisi tentang, bagaimana menghadapi baby blues, PPD dan berbagai artikel tentang parenting dan pernikahan yang point memang sebagai solusi, bukan sensasi.

Oia berita-berita panas yang bermuatan perilaku negatif seperti itu, jika dilihat oleh orang yang sedang depresi atau berada dalam masalah psikologis. Justru memunculkan inspirasi dan motivasi untuk melakukannya.

Sedangkan bagi yang emosi dan kondisi psikologisnya stabil. Bukan mustahil untuk terekam di alam bawah sadarnya.

Aku juga berharap banget sih, semoga media semakin mampu membalancekan peristiwa. Dapat mentransformasikan konflik menjadi informasi yang mengedukasi. Semoga.

Baiklah, sekian dulu postingan pertama di bulan April ini. Bulan yang dimana sih katanya, bulannya perempuan. Semoga dunia semakin ramah kepada kita ya.

XOXO

Madamabi___

No comments:

Post a Comment

Hai. Terimakasih sudah membaca postingan ini. Silahkan memberi komentar yang baik dan tentu saja sopan ya dear. 😘

Review: Heimish Matcha Biome Hydrogel Eye Patch

Merawat kulit pada area mata sering terabaikan. Padahal, pada area ini kulit lebih tipis dibanding bagian lain. Sehingga sangat penting dira...