Friday, October 2, 2020

Seputar Film Dokumenter Paris Hilton


Jarang sekali aku bahas sesuatu yang viral di sini ya? Tapi sekali-kali boleh dong! Bermula dari sebuah konten dari platform parenting tersohor di negeri ini. Aku mengetahui bahwa, Paris Hilton mengunggah dokumenter tentang hidupnya. Kamu bisa saksikan di Channel You Tube Paris Hilton, yang judulnya "This Is Paris".




Karena point-point yang diangkat pada infografis tersebut menekankan perihal pola asuh. Jelaslah aku jadi semakin tergelitik untuk melihatnya.


Ya apalagi, dasarnya anak Sosiologi kan. Selalu tergelitik mengupas kehidupan. Wkwk.

 

Ya. Di sisi lain, meskipun bukan fansnya. Tapi Paris selalu punya magnet untukku. Seseorang ((seseorang)) yang masa remajanya pada sekitar tahun 2003 ke atas. Hampir semua majalah remaja menampilkan dirinya. Membahas tentang dirinya. Menjadikannya sebagai role mode (?), baik fashion maupun lifestyle. Memaparkan sisi positif maupun negatif dari seorang Paris Hilton. Cover edisi khusus dari sebuah majalahpun, kurang special rasanya jika tidak memampang wajahnya.

 

Suka ataupun ngga. Sulit untuk memungkiri bahwa segala trend yang terjadi pada masaku, yaaa berkat pengaruhnya si pewaris Hotel Hilton ini. Sebut saja trend maxi dress. White cardigan. Glossy pink lips. Rambut kriting spiral, plus poni melengkung sempurna. Gantungan HP yang rame banget, bulu-bulu, krincingan & boneka wkwkw. Masih banyak lagi deh gegap gempita masa remajaku yang bersumber dari seorang Paris Hilton.

 

Yah…  ada sedikit (demi sedikit = banyak) perasaan nostalgia muncul ketika aku melihat film tersebut. Aku baru menyadari. Ya amplop! Paris Hilton benar-benar bagian dari masa remajaku. Seyum-seyum sendiri rasanya memikirkan hal itu. Anganku jadi terbawa kemasa-masa paling indah yang meskipun pada masa itu tak jarang terasa pelik (lah curhat!).

 

Dari sepuluh menit pertama, otakku ngga berhenti bertanya-tanya. Ini benar pure atau masih gimmick sih? Sebegitu kuatnya kata “DRAMA” melekat padanya. Shoorih Pharish!! *ala-ala baby voice*

 

Durasi berlanjut, pikiran tadi berhasil kutepis perlahan. Meskipun masih memenuhi, tapi lebih kaleman. Tergantikan dengan pikiran-pikiran lain. Apa sajakah itu?

 

Inilah isi kepalaku selama menyaksikan Film Dokumenter This Is Paris!

 

Consent itu penting!

 

Perlu sekali untuk meminta izin anak atas perlakuan kita ke dirinya. Dalam Apapun itu! Anak memang anak. Kita memandangnya lebih kecil. Tapi tetap, dia seorang individu yang punya hak atas dirinya.

 

 Contoh simple yang masih nyangkut dengan kehidupan sekarang adalah. Kita sebagai orangtua sangking senang dan bahagia dengan anak kita, selalu berusaha merekam segala aktifitasnya. Alasannya memang untuk dokumentasi. Kenang-kenangan. Namun satu hal yang luput. Apapun itu. Sesadar apapun itu. Konsep dari mengabadikan lewat kamera, seperti menghipnotis kita untuk menyajikan yang terbaik. Ngga jarang, kita berusaha mengarahkan object tangkapan gambar kita untuk berakting nice, agar enak aja dilihat nantinya.

Akupun baru mulai konsisten menerapkan consent ini pada anakku, dua tahun belakangan, memang.

 

Ya mengabadikan sesuatu untuk dokumentasi memang ngga salah. Tapi tetap, praktikkan consent! Karena itu sangat penting. Terlihat sepele. Tapi dampaknya panjang dan tidak terkendali. Lagi pula, kalau memang niatnya mengabadikan. Ya sudah, biarlah semua berjalan apa adanya. Bukannya memang tujuan kita untuk melihat kenyaataan di masa ini, pada suatu saat nanti?

 

Ada juga bagian dari film ini yang menunjukkan kejengahannya saat di rekam selalu oleh Ayahnya.




Ya eneug juga kan. Makanya consent itu perlu.


Lagipula, jika tidak direkampun. Nilai bahagianya tidak akan luntur juga, bukan?


Inilah yang aku lihat dari seorang Paris Hilton. Sangking akrabnya dengan kamera. Ketika dewasa dia jadi selalu berusaha untuk menampilkan yang terbaik. Menampilkan apa yang orang ingin lihat. Meskipun itu bukan dirinya sendiri.

 

Bahkan sampai akhir dokumenterpun, ia selalu menekankan kata “aku ingin diterima” “aku ingin merasa diterima”. Ngga jarang bahkan dia harus terjebak dengan hubungan yang salah hanya karena ingin diterima. Atau keliru merasa diterima.

 

Ya salah satu akibatnya beredarnya rekaman pribadinya bersama sang mantan.


Merasa diterima itu, harus dari diri sendiri.

 

Populer. Dinanti-nanti. Dielu-elukan. Bukan berarti sudah merasa diterima. Itulah yang jelas sekali terlihat olehku pada bagian itu.

 

Populer ≠ Merasa Diterima

 

Aku jadi berpikir. Bisa jadi inilah yang melatarbelakangi  kasus-kasus pertikaian Paris dengan banyak orang. Sahabat-sahabatnya, misalnya.

 

Mirisnya media, menyoroti ini sebagai “yah.. inilah Paris Hilton. Sempurna tapi menyebalkan”.

 

Bahkan kala itu, banyak chick flick yang mewatakan tokoh menyebalkan dengan cirri fisik seperti Paris Hilton. Plus, baby voice-nya yang iconic itu. Ya, media memang punya andil dalam membentuk opini.

 

Oia, tentang baby voice. Dari tayangan berdurasi hampir dua jam ini, tersirat hal itu karena Paris memang mengakui jika dia tidak ingin tumbuh dewasa. Dia tidak mau menjadi dewasa. Bisa dibilang inilah yang membuatnya seperti bertingkah tidak sesuai dengan usianya.

 

Aku ingat sekali, dulu bahkan ada sebuah majalah remaja yang (mungkin) salah menyebutkan, bahwa Nicky Hilton adalah kakak dari Paris Hilton.

 

Dari sifat, sikap bahkan gaya busana memang kekeliruan itu cukup beralasan.

 



Nicky memang terlihat lebih tegas. Gaya busananya juga lebih simple dan elegant. Sedangkan Paris, ngga dipungkiri. Berapapun usianya, selalu terlihat seperti gadis SMA.

 

Pada sesi wawancara dengan Kathy Hilton (Ibu Paris Hilton), memang tersirat ambisi dan harapan yang besar kepada Paris. Selain nama besar keluarga, status Paris yang sebagai anak pertama membuatnya mengemban tugas untuk menjadi panutan.

 

Aku juga menangkap, adanya harapan yang tinggi atas privilege dari nama besar Hilton. Mempegaruhi ambisi Kathy akan kesempurnaan hidup kalangan terhormat.

 

Udah kebaca deh ya arahnya kemana, kalau anak terlalu diharapkan atas nama baik keluarga. Pasti perilaku ala remaja yang masih mencari jati diri bakalan terpengaruhi. Pemberontakanpun kerap dilakukan Paris sebagai bentuk protes kepada orangtuanya.

 

Tindakan yang diambil oleh orangtuanya untuk mengatasi kerebelan Paris, juga terdengar umum di ambil orangtua lainnya. Yang sayangnya, kalau dipikir-pikir tidaklah efektif.

 

Yaitu, menyerahkannya ke sekolah asrama guna mendisiplinkan Paris.

 

Sedih sih. Dalam urutan institusi sosial, institusi keluargalah yang paling utama baru intitusi pendidikan.

 

Sayangnya, memang pada kenyataannya masih banyak orangtua yang menjadikan institusi pendidikan sebagai solusi untuk menempa anak. Seakan-akan tidak ada jalur personal seperti menjalin pendekatan antara orangtua dan anak terlebih dahulu. Seandainyapun itu sudah dilakukan, bukan berarti orangtua melepaskan sepenuhnya kepada sekolah. Sebagus apapun sekolah, tetap anak lebih nyaman dididik oleh orangtuanya sendiri. Bonding itu tetap kunci ya dalam keluarga.

 

Walaupun cukup ngotot dan ingin lepas dari kendali siapapun. Tapi ngga bisa dipungkiri, terlihat kalau Paris ini juga cukup labil.




Misalnya dalam hal asmara. Ada kalanya dia mengucap, ingin sendiri. Lalu jatuh cinta dengan mudahnya. Kemudian merasa beruntung. Lalu setelah itu menyesal.


Oia, rasa sukar mempercayai orang dan seperti terlalu parno juga kelihatan sekali. Ya, jelaslah semua berdasar. Segala yang pernah terjadi padanya. Jelas membuatnya semakin skeptis dengan siapapun. 


Perasaanku selama menonton ini adalah, lelah banget ya jadi Paris! Wkwkwk.




Belum lagi kalau putus harus ganti laptop karna parno. Emang semuanya ada harga ya bok. Popularitas ada harga. Kekayaan ada harga. Fisik yang sempurna juga ada harga. Semua-semua ada harga.

 

Selalu ada harga yang harus dibayar atas hidup ini…

 

Meskipun pikiran “ini beneran murni dan apa adanya?” masih terbayang-bayang di kepalaku sampai menit-menit terakhir. Harus aku akui, ya apapun itu. Apapun persepsi orang padanya. Ngga bisa dipungkiri, Paris Hilton memang cukup tangguh dalam menjalani hidpnya selama ini. Memang ngga mudah dan ngga murah juga tentunya.

 

Sebab itu, meskipun terlihat berusaha keras untuk meluruskan imagenya selama ini. Hal ini juga yang membuat pikiran, documenter ini sengaja dibuat untuk cuci tangan dan membersihkan citra masih melayang di pikiranku Bahwa dia bukan gadis manja tanpa isi. Atau simplenya dia mau bilang:

 

“Aku ngga sebego itu!”

 

“Aku ngga semenyebalkan itu”

 

“Aku begini ada alasannya woy!”

 

Terlepas dari benar-benar murni atau tidaknya documenter ini. Tetaplah banyak sekali insight positif yang bisa dipetik.

 

Setidaknya, jika masih belum bisa menerima ini benar. Anggap sajalah sedang menonton fiksi. Haha. Fiksi juga punya nilai moral bukan.

 

Dan lagi-lagi, Paris selalu punya magnet untuk menarik perhatian. Buktinya setelah documenter itu keluar. Banyak tayangan-tayangan youtube maupun blog yang tertarik untuk membahasnya (ya aku salah satunya). LOL.

 

XOXO

 

Madamabi___

No comments:

Post a Comment

Hai. Terimakasih sudah membaca postingan ini. Silahkan memberi komentar yang baik dan tentu saja sopan ya dear. 😘

Review: Tavi Urban Shield 3 In 1 Super Fine Mist

Face mist adalah salah satu produk skincare yang menurutku experiencenya selalu menyenangkan dan cukup memanggilku sebagai si pemilik kulit ...