Jarang sekali aku bahas sesuatu yang viral di sini ya? Tapi sekali-kali boleh dong! Bermula dari sebuah konten dari platform parenting tersohor di negeri ini. Aku mengetahui bahwa, Paris Hilton mengunggah dokumenter tentang hidupnya. Kamu bisa saksikan di Channel You Tube Paris Hilton, yang judulnya "This Is Paris".
Karena point-point yang diangkat pada infografis tersebut menekankan perihal pola asuh. Jelaslah aku jadi semakin tergelitik untuk melihatnya.
Ya apalagi, dasarnya anak Sosiologi kan. Selalu tergelitik mengupas kehidupan. Wkwk.
Ya. Di sisi lain, meskipun bukan
fansnya. Tapi Paris selalu punya magnet untukku. Seseorang ((seseorang)) yang masa remajanya pada
sekitar tahun 2003 ke atas. Hampir semua majalah remaja menampilkan dirinya.
Membahas tentang dirinya. Menjadikannya sebagai role mode (?), baik fashion
maupun lifestyle. Memaparkan sisi positif maupun negatif dari seorang Paris Hilton.
Cover edisi khusus dari sebuah majalahpun, kurang special rasanya jika tidak
memampang wajahnya.
Suka ataupun ngga. Sulit untuk
memungkiri bahwa segala trend yang terjadi pada masaku, yaaa berkat pengaruhnya
si pewaris Hotel Hilton ini. Sebut saja trend maxi dress. White cardigan. Glossy
pink lips. Rambut kriting spiral, plus poni melengkung sempurna. Gantungan HP
yang rame banget, bulu-bulu, krincingan & boneka wkwkw. Masih banyak lagi
deh gegap gempita masa remajaku yang bersumber dari seorang Paris Hilton.
Yah…
ada sedikit (demi sedikit = banyak) perasaan nostalgia muncul ketika aku
melihat film tersebut. Aku baru menyadari. Ya amplop! Paris Hilton benar-benar
bagian dari masa remajaku. Seyum-seyum sendiri rasanya memikirkan hal itu.
Anganku jadi terbawa kemasa-masa paling indah yang meskipun pada masa itu tak
jarang terasa pelik (lah curhat!).
Dari sepuluh menit pertama, otakku ngga
berhenti bertanya-tanya. Ini benar pure atau masih gimmick sih? Sebegitu
kuatnya kata “DRAMA” melekat padanya. Shoorih Pharish!! *ala-ala baby voice*
Durasi berlanjut, pikiran tadi berhasil
kutepis perlahan. Meskipun masih memenuhi, tapi lebih kaleman. Tergantikan
dengan pikiran-pikiran lain. Apa sajakah itu?
Inilah isi kepalaku selama menyaksikan
Film Dokumenter This Is Paris!
Consent itu penting!
Perlu sekali untuk meminta izin anak
atas perlakuan kita ke dirinya. Dalam Apapun itu! Anak memang anak. Kita
memandangnya lebih kecil. Tapi tetap, dia seorang individu yang punya hak atas
dirinya.
Contoh simple yang masih nyangkut dengan kehidupan
sekarang adalah. Kita sebagai orangtua sangking senang dan bahagia dengan anak
kita, selalu berusaha merekam segala aktifitasnya. Alasannya memang untuk
dokumentasi. Kenang-kenangan. Namun satu hal yang luput. Apapun itu. Sesadar
apapun itu. Konsep dari mengabadikan
lewat kamera, seperti menghipnotis kita untuk menyajikan yang terbaik. Ngga
jarang, kita berusaha mengarahkan object tangkapan gambar kita untuk berakting
nice, agar enak aja dilihat nantinya.
Akupun baru mulai konsisten menerapkan
consent ini pada anakku, dua tahun belakangan, memang.
Ya mengabadikan sesuatu untuk
dokumentasi memang ngga salah. Tapi tetap, praktikkan consent! Karena itu
sangat penting. Terlihat sepele. Tapi dampaknya panjang dan tidak terkendali.
Lagi pula, kalau memang niatnya mengabadikan. Ya sudah, biarlah semua berjalan
apa adanya. Bukannya memang tujuan kita untuk melihat kenyaataan di masa ini,
pada suatu saat nanti?
Ada juga bagian dari film ini yang menunjukkan kejengahannya saat di rekam selalu oleh Ayahnya.
Ya eneug juga kan. Makanya consent itu perlu.
Lagipula, jika tidak direkampun. Nilai bahagianya tidak akan luntur juga, bukan?
Inilah yang aku lihat dari seorang Paris
Hilton. Sangking akrabnya dengan kamera. Ketika dewasa dia jadi selalu berusaha
untuk menampilkan yang terbaik. Menampilkan apa yang orang ingin lihat.
Meskipun itu bukan dirinya sendiri.
Bahkan sampai akhir dokumenterpun, ia
selalu menekankan kata “aku ingin diterima” “aku ingin merasa diterima”. Ngga
jarang bahkan dia harus terjebak dengan hubungan yang salah hanya karena ingin
diterima. Atau keliru merasa diterima.
Ya salah satu akibatnya beredarnya rekaman pribadinya bersama sang mantan.
Merasa diterima itu, harus dari diri
sendiri.
Populer. Dinanti-nanti. Dielu-elukan.
Bukan berarti sudah merasa diterima. Itulah yang jelas sekali terlihat olehku
pada bagian itu.
Populer ≠ Merasa Diterima
Aku jadi berpikir. Bisa jadi inilah yang
melatarbelakangi kasus-kasus pertikaian
Paris dengan banyak orang. Sahabat-sahabatnya, misalnya.
Mirisnya media, menyoroti ini sebagai
“yah.. inilah Paris Hilton. Sempurna tapi menyebalkan”.
Bahkan kala itu, banyak chick flick yang
mewatakan tokoh menyebalkan dengan cirri fisik seperti Paris Hilton. Plus, baby
voice-nya yang iconic itu. Ya, media memang punya andil dalam membentuk opini.
Oia, tentang baby voice. Dari tayangan
berdurasi hampir dua jam ini, tersirat hal itu karena Paris memang mengakui
jika dia tidak ingin tumbuh dewasa. Dia tidak mau menjadi dewasa. Bisa dibilang
inilah yang membuatnya seperti bertingkah tidak sesuai dengan usianya.
Aku ingat sekali, dulu bahkan ada sebuah
majalah remaja yang (mungkin) salah menyebutkan, bahwa Nicky Hilton adalah
kakak dari Paris Hilton.
Dari sifat, sikap bahkan gaya busana
memang kekeliruan itu cukup beralasan.
Nicky memang terlihat lebih tegas. Gaya
busananya juga lebih simple dan elegant. Sedangkan Paris, ngga dipungkiri.
Berapapun usianya, selalu terlihat seperti gadis SMA.
Pada sesi wawancara dengan Kathy Hilton
(Ibu Paris Hilton), memang tersirat ambisi dan harapan yang besar kepada Paris.
Selain nama besar keluarga, status Paris yang sebagai anak pertama membuatnya
mengemban tugas untuk menjadi panutan.
Aku juga menangkap, adanya harapan yang tinggi atas
privilege dari nama besar Hilton. Mempegaruhi ambisi Kathy akan
kesempurnaan hidup kalangan terhormat.
Udah
kebaca deh ya arahnya kemana, kalau anak terlalu diharapkan atas nama baik
keluarga. Pasti perilaku ala remaja yang masih mencari jati diri bakalan
terpengaruhi. Pemberontakanpun kerap dilakukan Paris sebagai bentuk protes
kepada orangtuanya.
Tindakan yang diambil oleh orangtuanya
untuk mengatasi kerebelan Paris, juga terdengar umum di ambil orangtua lainnya.
Yang sayangnya, kalau dipikir-pikir tidaklah efektif.
Yaitu, menyerahkannya ke sekolah asrama
guna mendisiplinkan Paris.
Sedih sih. Dalam urutan institusi
sosial, institusi keluargalah yang paling utama baru intitusi pendidikan.
Sayangnya, memang pada kenyataannya
masih banyak orangtua yang menjadikan institusi pendidikan sebagai solusi untuk
menempa anak. Seakan-akan tidak ada jalur personal seperti menjalin pendekatan
antara orangtua dan anak terlebih dahulu. Seandainyapun itu sudah dilakukan,
bukan berarti orangtua melepaskan sepenuhnya kepada sekolah. Sebagus apapun
sekolah, tetap anak lebih nyaman dididik oleh orangtuanya sendiri. Bonding itu
tetap kunci ya dalam keluarga.
Walaupun cukup ngotot dan ingin lepas dari kendali siapapun. Tapi ngga bisa dipungkiri, terlihat kalau Paris ini juga cukup labil.
Misalnya dalam hal asmara. Ada kalanya dia mengucap, ingin sendiri. Lalu jatuh cinta dengan mudahnya. Kemudian merasa beruntung. Lalu setelah itu menyesal.
Oia, rasa sukar mempercayai orang dan seperti terlalu parno juga kelihatan sekali. Ya, jelaslah semua berdasar. Segala yang pernah terjadi padanya. Jelas membuatnya semakin skeptis dengan siapapun.
Perasaanku selama menonton ini adalah, lelah banget ya jadi Paris! Wkwkwk.
Belum lagi
kalau putus harus ganti laptop karna parno. Emang semuanya ada harga ya bok.
Popularitas ada harga. Kekayaan ada harga. Fisik yang sempurna juga ada harga.
Semua-semua ada harga.
Selalu ada harga yang harus dibayar atas
hidup ini…
Meskipun pikiran “ini beneran murni dan
apa adanya?” masih terbayang-bayang di kepalaku sampai menit-menit terakhir.
Harus aku akui, ya apapun itu. Apapun persepsi orang padanya. Ngga bisa
dipungkiri, Paris Hilton memang cukup tangguh dalam menjalani hidpnya selama
ini. Memang ngga mudah dan ngga murah juga tentunya.
Sebab itu, meskipun terlihat berusaha keras
untuk meluruskan imagenya selama ini. Hal ini juga yang membuat pikiran,
documenter ini sengaja dibuat untuk cuci tangan dan membersihkan citra masih
melayang di pikiranku Bahwa dia bukan gadis manja tanpa isi. Atau simplenya dia
mau bilang:
“Aku ngga sebego itu!”
“Aku ngga semenyebalkan itu”
“Aku begini ada alasannya woy!”
Terlepas dari benar-benar murni atau
tidaknya documenter ini. Tetaplah banyak sekali insight positif yang bisa dipetik.
Setidaknya, jika masih belum bisa
menerima ini benar. Anggap sajalah sedang menonton fiksi. Haha. Fiksi juga
punya nilai moral bukan.
Dan lagi-lagi, Paris selalu punya magnet
untuk menarik perhatian. Buktinya setelah documenter itu keluar. Banyak
tayangan-tayangan youtube maupun blog yang tertarik untuk membahasnya (ya aku
salah satunya). LOL.
XOXO
Madamabi___
No comments:
Post a Comment
Hai. Terimakasih sudah membaca postingan ini. Silahkan memberi komentar yang baik dan tentu saja sopan ya dear. 😘