Sunday, August 22, 2021

Kenapa Harus Peduli Dengan Mental Health?



Holla...


Untuk yang ngikutin aku di sosial media, khususnya IG (ya cuma itu aja sih sosmed yang aktif sekarang). Pasti sering melihat aku rajin share hal-hal seputar mental health. Mungkin sampe terbersit, kok beauty blogger bahasnya mental health terus.


Bahkan sampai pernah ada yang berasumsi kalau aku berada di situasi hidup yang peliiiiik banget. Ya hidup memang pelik sih beb. Tapi Alhamdulillah, aku share hal tersebut bukan karena lagi kejepit problem idup yang gimana-gimana gitu. Melainkan menyadari bahwa hal itu penting sekali. Jangan tunggu kejepit dulu baru membuka diri sama urusan mental.




Semenjak semakin ngikutin issue-issue seputar mental health dan wellness. Aku semakin terbuka untuk menelisik kondisi mentalku sendiri. Semakin memperhatikan setiap pikiran yang ada di kepalaku dan tindakan yang aku lakukan. Menggali akar dari segala luka dan trauma. Menerimanya, kemudian mengobatinya.


Tujuannya untuk apa?


Pertama, aku sadar benar kalau kesehatan mental itu penting untuk disadari.


Memperhatikan kondisi mental kita, sama pentingnya seperti kita memperhatikan  kondisi fisik kita. Karena sebenarnya, kesehatan itu sepaket. Mental dan fisik. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani (jadi ingat pelajaran Penjaskes dulu ya. Hihi).


Tidak perlu malu untuk mengulik kondisi mental kita. Tidak ada alasan juga untuk denial ketika sudah menemukannnya. Terima.


Memang sulit ya untuk mengakui hal negatif di diri kita. Karena pada dasarnya kita manusia lebih senang untuk dilihat dalam kondisi yang baik-baik saja. Ngga heran istilah "pura-pura bahagia" menjadi populer saat ini.


Berat untuk kita, ketika mengakui kalau ada yang salah dengan hidup ini. Kita merasa malu untuk dilihat tidak baik-baik saja, karena bisa muncul perasaan sebagai manusia yang kurang beruntung. Sedangkan, kata beruntung (seringnya) berhasil menaikan nilai diri.


Intinya kita mau dilihat baik-baik saja.


Namun, hidup itu formulasinya memang hoki dan apes. Dua rasa itu akan kita kecap dalam hidup. So, kalau kata hitsnya "It's Okay To Not Be Okay!".


Kedua, karena setelah aku resapi lagi makna dan arti hidup ini (uhuk). Kita semua berjuang hidup untuk kualitas hidup yang lebih baik.


Definisi kualitas yang baik bagi setiap orang berbeda-beda dan sifatnya bebas ya.


Bagiku, kualitas hidup bermula dari dalam diri. Aku lebih senang mendefinisikan arti kualitas hidup berdasarkan hal-hal yang berada di dalam diriku sendiri (termasuk kondisi mental) dibanding hal-hal yang sifatnya kebendaan atau pencapaian. Karena apa yang dimiliki dan apa yang diraih itu nilainya relatif.


Lalu, kualitas diri seperti apa yang aku maksud?


Kemampuanku untuk menjalani hidupku yang hakiki. Menjalani hidup dengan sepenuh hati.


Untuk menggali kemampuan diri kita agar berkerja optimal, tentunya perlu menyadari benar kondisi kita. Selain fisik, tentu saja kondisi mental.


Kalau tidak, maka ngga akan perna seimbang kerjanya. Dengan begitu, kualitas diri tadi semakin sulit untuk kita capai.


Ketiga, status sebagai Ibu. Bahagia itu menular, begitu kesedihan. Hal ini juga berlaku untuk kondisi mental. Selain genetis, kondisi mental Orangtua (khususnya Ibu yang lebih sering berinteraksi dengan anak) juga mempengaruhi tumbuh kembang juga watak anak.


Kalau mentalnya ngga siap dan sedang aur-auran. Besar sekali kemungkinan untuk kepancing perasaan negatif. Ngga mau dong ngasi trauma ke anak, akibat dari kontrol kita yang bablas.


Sering juga kejadian, di mana kita mikirnya anak kok susah banget sih di ajarin? Kok ngga ngerti-ngerti sih dibilangin? Dikasih tahu malah membal.


Ng.. Nganu, bukan makanan tahu temennya tempe ya Bund.


Coba deh dipikir ketika dalam kondisi yang stabil. Besar kemungkinan, masalahnya bukan hanya di anak. Tapi kitanya yang kurang zen!


Dari hal-hal yang sering melekat pada kehidupan seorang ibu. Seperti burnout, depressi, mudah marah, cepat lupa, merasa diri kurang, gampang lelah, dan banyak lagi. Semuanya memiliki penyebab yang berkaitan dengan kondisi mental yang kurang stabil.


Keempat, beauty inside-out. Suasana hati itu terpancar dari paras. Aku percaya itu. Kalau mental kita lagi kacau. Itu akan terlihat jelas di wajah.


Memang riasan dan hasil skincare-an akan ngaruh. Namun kalau mental lagi kacau, mau seglowing atau sementereng apa makeup. Kayak ada awan mendung yang menyelimuti. Istilahnya tuh, gelap auranya. Wkwk.


Okelah kalau "pancaran" seseorang itu bisa relatif. Tapi penelitian ilmiah juga sudah mengemukakan, bahwa orang dengan masalah mental memiliki performa fisik (bukan ciri fisik ya, itumah udah dari Yang Maha Kuasa) yang menurun.


Contohnya nih, stress bisa memicu keriput.


Sulit tidur bisa mengundang kantung mata dan lingkar hitam. Selain habit, pola tidur bisa terganggu karena masalah mental (stress atau anxiety).


Di sekitarku juga ya banyak contohnya. Orang-orang yang damai dari dalam. Chill, ngga musingin yang ngga perlu dipusingin. Asertif. Emang wajah dan badannya terlihat lebih segar dan sumringah. Bikin kita yang berhadapan dengannya jadi ikutan happy.


Kelima, mengasah empati. Kalau ngikuti issue-issue seputar mental health. Kita jadi banyak tahu hal-hal apa aja yang berkaitan dengan kesehatan mental seseorang. Memahami gejala, penyebab dan akibat.


Kalau udah paham, harusnya kita jadi lebih peka sama tindak-tanduk seseorang yang berkaitan dengan masalah mentalnya. Memang bukan tanggung jawab kita untuk menyembuhkannya. At least, kita punya empati dan bisa menghindari untuk bertingkah yang dapat memperparah luka seseorang.


Karena, kita bisa aja ngelihat seseorang tertawa, senyum, atau terlihat baik-baik saja. Tapi kita kan ngga tahu di balik itu. Seperti apa hidup yg dia jalani. Bagaimana hari yang dilaluinya. Atau baru mendapat kabar apakah dia sebelum berhadapan dengan kita.


Asah terus empati kita yuk!


Keenam, agar semakin mengenal diri. Nah, ini yang paing kerasa banget sih buat aku. Karena harus "bertanya" dengan diri sendiri apa yang terjadi. Apa yang tengah dialami dan dirasakan. Berdialog dengan diri sendiri untuk melihat kondisi mental sendiri. Seperti dibawa berkenalan dengan diri sendiri.


Memang akan ada penolakan di awal. Tapi lama kelamaan, akan membawa ke fase akrab dengan diri sendiri. Selain menerima juga jadi lebih akrab sama diri sendiri. Dengan begitu, rasanya lebih ikhlas dengan apapun yang pernah dilalui dan yakin bahwa semua ada hikmahnya. Proses ini benar-benar mengantar ke pintu gerbang penerimaan seutuhnya atas hidup dan kuasa Sang Pencipta. Surrender.


Ketujuh, agar ngga terjerumus ke perbutan impulsif yang merugikan diri sendiri.


Kalau kita perhatiin kasus yang marak terjadi saat ini. Sebut saja Suicide, terjerat  hutang, fraud di kantor, depressi dan banyak lagi. Semua bermula dari kondisi mental yang stabil. Masalah yang menumpuk di dalam diri dan ngga kunjung terobati.


Tidak puas dengan diri, melakukan pelarian dalam bentuk yang impulsif. Seperti belanja gila-gilaan atau memuaskan diri dengan fasilitas di luar kemampuan untuk membuat perasaan jadi lebih baik. Hilang kendali diri untuk mengobati luka. Semuanya memiliki akar masalah dari kondisi mental yang kurang sehat.


Kedelapan, untuk hidup yang lebih damai. Nah ini tujuan dari segala tujuan hidup ya. Damai. Ngga nyiksa diri sendiri. Ngga ngerugiin dan ngegresekin orang. Haha. Ngegresekin orang? Bahasa apa itu Sar? Ngga ngusilin, resek, dan nyampurin hidup orang gitu maksudnya ya.


Ketika memahami tentang kesehatan mental. Kita jadi mengerti mana yang bisa kita pikirkan lebih serius mana yang kita hempaskan. Mana yang bisa kita kontrol dan mana yang kita lepaskan saja. Dalam bertindak kita juga lebih terkendali. Dalam menerima pendapat lebih terbuka. Ngga mudah ketrigger, karena dari dalam udah lempeung.


-


Oia, last but not least. Penting juga bagi kita merubah mindset, terhadap arti mental illnes atau mental health. Bahwa hal ini bukan lagi seperti penyakit memalukan yang pada zaman dahulu (bahkan sekarang) pengidapnya harus dipasung agar tidak mengganggu kenyaman umum.


Atau orang yang berjalan-jalan sambil ngomong sendiri dengan tampilan lusuh.


Penyakit mental bukan hanya terlihat dari perilaku diluar kendali yang bersifat akut. Seperti mengamuk tanpa tentu arah.


Ketidakstabilan mental banyak gejala dan betuknya dan bisa dialami oleh siapa saja. Bahkan yang terlihat paling sumringah sekalipun. Yang pendidikannya paling tinggi. Karirnya cemerlang. Bahkan hartanya paling menggunung. Karena kesehatan mental, PR kita semua.


Mungkin kalian pernah ingat, aku pernah publish tulisan di bawah ini juga. Yang ngga tahu, boleh disamperin beb... Hihi


Ngga Apa Stress, Dian Sastro Juga Stress Kok!




So.. Masih haruskah kita denial untuk urusan kesehatan mental?


XOXO


Madamabi___

No comments:

Post a Comment

Hai. Terimakasih sudah membaca postingan ini. Silahkan memberi komentar yang baik dan tentu saja sopan ya dear. 😘

Review: Tavi Urban Shield 3 In 1 Super Fine Mist

Face mist adalah salah satu produk skincare yang menurutku experiencenya selalu menyenangkan dan cukup memanggilku sebagai si pemilik kulit ...